Kamis, 16 Oktober 2008

Meneladani Kepemimpinan

Makna Keteladanan
Ayat 21 dari Surat Al-Ahzab yang sangat terkenal (“laqod kana lakum fi Rasu-lullahi uswatun hasanah, liman kana yarjullaha wal yaumal-akhira wadzaka-rallaha katsira”) ini sering dipotong oleh para pencera-mah/ muballigh, dalam menerangkannya dicu-kupkan hanya sampai pada “uswatun hasanah”, sehingga maknanya menjadi kurang berbobot, sebab dua kalimat yang terpadu dalam satu ayat ini adalah satu rangkaian yang mestinya diung-kap secara utuh. Memang maksudnya pence-ramah mengungkap sampai uswatun khasanah itu untuk menampilkan bahkan menonjolkan Nabi Muhammad Saw. sudah cukup baik. Namun, karena terpotong lalu menjadi agak pincang. Orang mungkin kagum dengan ketela-danan beliau, tetapi nampaknya belum ada upaya bagaimana kemudian bisa meneladani beliau. Ayat “liman kana yarjullah” dan seterus-nya itu memberi makna yang dalam bahwa keteladanan uswah khasanah Nabi itu “liman”. “Li” yang kita kenal sebagai harfuj-jar itu bermakna adamul khasr. Uswah khasanah teladan Nabi itu hanya untuk orang yang mengharap ridhanya Allah dan hari kemudian, ditandai dengan banyaknya ingat kepada Allah. Artinya, orang yang memang berniat untuk meneladani beliau adalah orang yang mendam-bakan ridhanya Allah. Nonsens orang menela-dani Nabi tidak mendapati yang namanya ridhanya Allah. Ungkapan mengharap ridhanya Allah ini penting sekali sebab terutama orang zaman sekarang dalam meneladani orang itu biasanya dalam hal-hal yang pragmatis. Disinilah kita bisa menangkap isyarat mengapa perlu diungkap secara utuh. Hanya orang yang mengharap ridha Allah yang siap meneladani uswah khasanah Rasulullah Saw.
Dalam sepak terjang perilaku orang, nam-paknya tidak kelihatan upaya untuk mene-ladani beliau itu kemudian bisa diduga siapa yang dicari, yang dituju dan dimaksud dengan sema-ngat kiprah perjuangannya katakanlah, khusus-nya, dalam Muhammadiyah.
Dalam bentuk operasional kita melihat satu keteladanan yang bagus sekali ketika Nabi merasakan betapa beratnya tantangan dakwah di Mekah yang kemudian beliau alihkan sasaran-nya ke Thaif, yang biasa disebut dengan Hijrah Dakwah yang pertama. Setelah sekian lama hanya menangani dakwah di Mekah, beliau ber-niat menuju ke Thaif, dengan didampingi oleh Zaid bin Tsabit selaku sahabat dan anak angkat hadiah perkawinannya dengan Hadijah. Namun, rupanya niat keberangkatan beliau tercium oleh Abu Jahal. Abu Jahal segera mengontak pendu-duk Thaif tentang berita kedatangan Muham-mad. Begitu sampai di Thaif di sana telah siap sejumlah ‘preman’ dan ‘anak-anak jalanan’ dengan batu lemparan dan alat pemukul. Nabi belum sempat menyeru kepada umat di Thaif, sambutan yang didapatkan adalah lemparan batu. Walaupun Zaid mencoba melindungi tubuh Nabi dengan badannya agar tidak terkena lemparan, tetapi karena banyaknya lemparan dari sejumlah preman itu Nabi menga-lami luka berdarah. Berdua kemudian mereka meninggal-kan kota Thaif.
Di perjalanan pulang itu mereka ditemui Malaikat Jibril. Kita tahu Malaikat Jibril itu tidak pernah punya keinginan, maka ia tidak bisa marah. Namun, kali itu nampaknya Jibril ada kelainan. Melihat Muhammad dianiaya sebegitu rupa oleh penduduk Thaif, Jibril mena-warkan kepada Muhammad sekiranya beliau menghendaki, dua gunung yang mengapit kota Thaif akan dipertemukannya untuk melumatkan penduduk Thaif. Tetapi, menarik sekali jawaban Nabi, “Jangan, Aku berharap generasi mudanya yang akan menerima Islam”. Kalimat ini penting kaitannya dengan masalah keteladanan.
Di lembaga amal usaha Muhammadiyah, terutama di bidang pendidikan, cukup dipahami, misalnya di UMM, UMS atau di mana saja termasuk di UM Makassar, dari sekian puluh mahasiswa, walaupun saya tidak pernah masuk ke kampus UM Makassar, saya berani me-ngatakan bahwa yang menjadi mahasiswa di sana 90 persen lebih bukan anaknya orang Muhammadiyah. Sebab anaknya Hasyim Muza-di pun ada di UM Malang. Di UMS atau UMY saya melihat betul, karena dulu pernah ada Mahasiswa UMY yang dipesantrenkan selama satu minggu secara bertahap sebanyak 10 angkatan, kebetulan saya menjadi pengisi tetap, itu 90 persen lebih shalatnya memakai ushalli dan ‘tidak ushalli’. Maksudnya, ‘tidak ushalli’ itu tidak shalat. Jadi karena itu jangan heran kalau anak-anak PRD itu kemudian ada di kampus-kampus Muhammadiyah.
Kembali ke ungkapan Rasulullah “Aku berharap kepada generasi mudanya yang akan menrrima Islam”, bahwa 90 persen mahasiswa PTM yang bukan anak Muhammadiyah itu, merah hijau agamanya dapat dikatakan berada di tangan Muhammadiyah. Silahkan orang tuanya tetap “dhalal”, tetapi hijau dan merahnya mahasiswa itu di tangan kita. Kalau mereka masuk di UMM dan PTM-PTM yang lain itu shalatnya memakai “ushalli” kemudian setelah tamat shalatnya masih memakai ‘ushalli’ berarti telah gagal pendidikan Muhammadiyah. Ini yang saya maksud mengapa kita perlu mencer-mati masalah keteladanan. Sebab, darimana lagi kita mengharapkan penerus kalau tidak dari sini. Setiap tahun 40 ribu sarjana diwisuda oleh PTM. Maaf, kalau kemudian saya bertanya: “Dari 40 ribu itu berapa yang menjadi Mujahid Dakwah Muhammadiyah?” Hal ini merupakan masalah yang cukup serius. Selama 5 sampai 6 tahun mereka di tangan kita, mau diapakan mereka selama itu. Pertanyaan ini merupakan pengantar untuk menuju upaya kita meneladani.

Kisah AR Sutan Mansur dan AR Fachruddin
Berikutnya, saya akan mengungkapkan dua figur di Muhammadiyah. Pertama, pendiri Mu-hammadiyah sendiri, kaitannya dengan masalah keteladanan, yaitu kisah Kyai Haji Ahmad Dahlan ketika memberi pengajian di Pekajangan Pekalongan. Ketika beliau sedang asyik me-nyampaikan pengajiannya, datang seorang alim, orang itu tertegun melihat pembicaraan Kyai Ahmad Dahlan. Baru sekali itu ia mendengar ada orang Jawa bisa berceramah seperti itu. Diperhatikannya secara seksama wajah dan gerak gerik serta mimik Kyai Dahlan ketika memberi pengajian tersebut. Ia lalu berpendapat bahwa Kyai Dahlan adalah seorang yang sangat alim, apalagi kemudian Kyai Dahlan mengaku sebagai seorang pimpinan organisasi Muham-madiyah yang baru didirikannya di Yogyakarta. Nampaknya, orang itu belum puas. Tanpa sepengetahuan Kyai Dahlan diikutinya Kyai Dahlan ketika kembali ke Yogyakarta. Dicari tahunya tempat biasanya Kyai Dahlan melak-sanakan. Shalat. Lalu, setengah jam sebelum Shubuh ia sudah menuju tempat tersebut untuk mengetahui jam berapa Kyai Dahlan datang ke Masjid. Ternyata Kyai Dahlan sudah berada di Masjid itu. Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan mengungkapkan komentarnya: “Pantas kalau Kyai Dahlan mengaku sebagai pimpinan Muhammadiyah”. Orang yang meng-awasi Kyai Dahlan itu tidak lain adalah Buya AR Sutan Mansur muda.
Masalah shalat, kelihatannya adalah soal sepele. Namun, tampaknya dalam hal inilah tolok ukurnya orang yang shaleh dan alim itu dapat dilihat. Keteladanan Kyai Dahlan dalam hal inilah yang antara lain menyebabkan banyak orang Minang kemudian masuk ke organisasi Muhammadiyah dan menyebarkan Muham-madiyah ke luar Jawa, sebab mereka terkenal sebagai para perantau. Buya Hamka adalah salah satu contohnya. Bertahun-tahum beliau me-ngembangkan Muhammadiyah di Pasangkayu Sulawesi Selatan. Kemudian Ghozali Sahlan, masuk ke belantara Sulsel dalam waktu yang cukup lama. Ini yang saya tahu persis bagai-mana orang Minang mengambil peran dalam Muhammadiyah di luar Jawa, yang berawal dari masalah keteladanan Kyai Dahlan di atas.
Tokoh yang kedua, yang sudah cukup kita kenal, paling tidak di layar kaca televisi, beliau adalah tokoh yang paling lama memimpin Muhammadiyah: Bapak AR Fachruddin. Maaf, di mata saya, Pak AR adalah satu-satunya seorang ketua PP Muhammadiyah yang sampai akhir hayatnya tidak memiliki rumah pribadi, hidup dengan sangat sederhana, dan segala kekuatan yang beliau miliki disumbangkan sepenuhnya untuk dakwah Islam. Seluruh tenaga, ilmu bahkan hartanya yang tidak seberapa disumbangkannya untuk kepentingan Islam.
Pak AR, saya sebut, adalah orang yang paling zuhud. Kalau beliau diminta ceramah di suatu tempat dan mendapatkan amplop, biasa-nya isinya habis diberikan kepada para karyawan kantor PP Muhammadiyah yang gajinya masih sangat kecil.
Para pengurus PP Muhammadiyah kalau sakit biasanya dilayani oleh Rumah Sakit Muhammadiyah, di Jogja oleh RSU PKU Mu-hammadiyah Yogyakarta dan kalau di Jakarta oleh Rumah Sakit Islam Jakarta. Suatu kali Pak AR sakit dan akan melakukan operasi Katarak. Pak AR tidak ingin PP Muhammadiyah tahu tentang sakitnya itu sehingga ia diberi fasilitas pengobatan gratis di RSU PKU. Namun, sebuah kelompok pengajian kecil di dekat rumahnya mengetahui dan mengumpulkan uang untuk membantu biaya operasi. Dari mereka terkum-pul uang sebanyak 600 ribu rupiah yang kemudian diserahkan kepada Pak AR.
Ketika selesai operasi, pengurus kelompok pengajian tadi diundang Pak AR. Beliau meng-ucapkan terima kasih dan menyerahkan sebuah bingkisan kepada pengurus pengajian tersebut yang ternyata isinya uang 300 ribu. Uang tersebut adalah sisa biaya operasi bantuan dari kelompok pengajian tersebut. Pak AR mengembalikan sisanya karena biaya operasinya hanya 300 ribu.
Suatu kali beliau didampingi oleh H. Ahmad Dimyati, seorang tokoh Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, menghadiri suatu acara Muhammadiyah di daerah Jawa Tengah. Oleh Panitia tempat tidur mereka berdua ditempatkan di sebuah ruang kelas di lantai yang diberi kasur. Pak Dimyati merasa penasaran, masak seorang ketua PP tidurnya ditempatkan hanya di lantai yang diberi kasur. Ketika Pak Dimyati bermak-sud mencari panitianya untuk mengadukan masalah ini, Pak AR dengan santai malah mengatakan: “Sudahlah, dengan begini saya malah enak, tidak mungkin jatuh dari tempat tidur”.
Inilah profil tokoh kita yang bernama AR Fachruddin. Bukan main kesederhanaan beliau. Sekarang ini kita kesulitan menemukan orang-orang yang seperti itu. Kalau toh ada hanya segelintir. Padahal Muhammadiyah telah ber-kembang sedemikian luas.

Tujuh Pelajaran Kyai Ahmad Dahlan
Perlu diketahui bahwa Kiyai Dahlan bermuhammadiyah hanya 11 tahun (!912-1923). Dan selama 11 tahun itu beliau baru sempat membumikan dan mengaplikasikan ayat-ayat Alquran tidak lebih dari 50 ayat.
Di tahun 1964, kami anak-anak muda yang kebetulan menjadi murid salah satu murid Kyai Dahlan yang paling muda (yakni Kyai Raden Haji Hadjid) membukukan pelajaran Kyai Dahlan dalam bentuk stensilan untuk menyong-song Munas Tabligh di Surabaya, menjelang Gestapu. Kami tahu persis bagaimana pelajaran Kyai Dahlan yang dicatat oleh Kyai Raden Haji Hadjid. Kyai Raden Haji Hadjid adalah satu-satunya murid yang sempat mencatat pelajaran-pelajaran Kyai Haji Ahmad Dahlan itu.
Yang saya tangkap, cara Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam mengungkap ayat Alquran itu cukup menarik. Bayangkan, yang namanya pelajaran Alquran 100 tahun yang lalu, kira-kira seperti apa yang diajarkan di kalangan umat. Paling tinggi mungkin dengan terjemahan, itu sudah lumayan. Kalau pun ada tafsirnya, alhamdulillah. Sebab, yang banyak, Alquran itu hanya untuk hafalan. Namun, Kyai Dahlan, saya sebut, luar biasa dalam menangkap isyarat-isyarat ayat-ayat Alquran.
Ada surat pendek yang paling disenangi makmum kalau surat itu dibaca iman shalat tarawih, yaitu surat Wal-Ashri (Al-Ashr). Surat ini ternyata diajarkan oleh Kyai Dahlan kepada murid-muridnya selama 7 bulan. Dan nama Wal Ashri ini diabadikan dalam satu lembaga yaitu Pengajian Wal Ashri yang sampai sekarang masih ada.
Demikian pula dalam mengungkap surat Al-Maun. Kalau orang bisa mendengarkan kete-rangan tafsirnya saja dari Kyai Dahlan mungkin sudah mengangguk-angguk, tetapi lebih dari itu, ternyata kemudian malah melahirkan satu karya yang luar biasa, berupa karya sosial dan karya pendidikan, dengan mengungkapkan kandungan surat Al-Maun tersebut. Peristiwa ini cukup menggegerkan. Dulu, dikenal pula istilah “ge-gernya Ara’aital”. Alquran yang biasanya ha-nya untuk bacaan, oleh Kyai Dahlan diwujudkan dalam bentuk karya amal.
Konon, kata Cak Nur (Nurcholis Majid), yang pernah mengamati organisasi Islam baik di Indonesia maupun di dunia, organisasi Islam yang terbesar di Indonesia dan dunia adalah Muhammadiyah. Maksudnya, organisasi yang punya warisan yang membekas dalam bentuk amal itu tidak ada yang seperti Muhammadiyah. Bayangkan, perguruan tinggi yang dimiliki Muhammadiyah berjumlah 130 lebih. Setiap tahun 40 ribu sarjana diwisuda. Setiap tahun berapa juta lulusan sekolah dihasilkan dari sekolah Muhammadiyah.
Tentang hal ini pernah saya gugat di Malang, ketika itu ada Pak Syafii Maarif dan Pak Umar Anggoro Jenie. Dari sekian juta yang telah diluluskan dari sekolah Muhammadiyah berapa yang kembali pada Muhammadiyah? Pak Yunan Yusuf agak bingung juga menjawab pertanyaan ini. Demikian pula, dari sekian jumlah itu berapa yang kemudian menjadi Mujahid Dakwah Muhammadiyah. Kita kesu-litan untuk menjawab.
Pesan akhir pernah disampaikan Kyai Dahlan kepada Ki Bagus Hadikusumo dalam bahasa Jawa: “Gus, pokoke agama iku di-ngamalke” (Ki Bagus, agama itu intinya di-amalkan).
Muhammadiyah menjadi besar dan gagah serta diperhitungkan karena karya amalnya. Kalau umpamanya begitu banyak tokoh-tokoh yang tampil dengan berbagai bidang disiplin ilmu, baik itu ahli tafsir, ahli hadis, dan macam-macam, kalau kita lihat berapa sebenarnya kitab yang dibaca oleh Kyai Ahmad Dahlan, tidak ada 10 kitab. Kalau kita baca bukunya Yusron (Drs. Yusron Asrofie) bisa kita lihat berapa kitab yang dibaca Kyai Dahlan. Namun, yang menarik adalah beliau sanggup menampilkan Islam ini dalam bentuk karya amal.
Inilah rupanya yang sekarang ini menjadi persoalan. Beberapa waktu lalu rombongan dari UMY datang ke Bandung, ke Pondoknya Aa Gym, Darut Tauhid. Alhamdulillah, kesan dari beliau-beliau ini bahwa yang dilakukan Darut Tauhid sejalan dengan faham kita. Dalam hal berdoa ketika menyebut nama Rasulullah, tidak memakai sayyidina. Ada yang berkomentar: “Mengapa di Muhammadiyah tidak ada yang seperti di Darut Tauhid? Yang dikembangkan itu tidak hanya seminar saja, tetapi juga proyek-proyek yang nyata. Koq sepertinya hampir-hampir tidak ada di Muhammadiyah yang seperti itu. Kalau misalnya ditanya, siapa kira-kira pengganti, penerus yang kira-kira siap meneruskan generasi Kyai Dahlan itu. Sebuah tanda tanya besar!
Ketika kami bersama Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah pergi ke Sumatera Barat. Secara jujur beliau mengatakan bahwa di Sumatera Barat sudah hampir habis yang namanya Buya. Tetapi kalau ‘Buya Ekonomi’ banyak. ‘Buya Politik’ juga banyak. Buya yang dikenal sesuai aslinya hampir sudah tidak nampak.
Kita dapati dalam buku Pelajaran Kyai Dahlan, salah satu beliau cara mengajar Alquran adalah selalu dengan menanyakan kepada murid-muridnya apakah sudah diamalkan atau belum ayat-ayat yang telah diajarkan. Jika belum, Kyai Dahlan akan menerangkan lagi, sampai akhirnya murid-muridnya menjawab sudah mengamalkan baru kemudian Kyai Dahlan menambahkan pelajaran yang baru. Itulah mengapa Kyai Dahlan mengajarkan surat Wal-Ashri sampai selama tujuh bulan!
Sayang, pelajaran-pelajaran Kyai Dahlan ini hampir tidak dikenal oleh para aktifis Muhammadiyah sekarang ini.
Ada peristiwa bersejarah yang tidak pernah diungkap oleh sejarah. Tahun 1921 ada Sidang Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muham-madiyah. Di situ para Assabiqunal Awwalun Muhammadiyah berkumpul, para pendiri dan generasi pertama pimpinan dan aktivis Muham-madiyah. Yang menarik, dalam pertemuan itu ada tokoh yang tidak pernah kita kenal sebagai orang atau aktivis Muhammadiyah. Menariknya adalah beliau bisa tampil meyakinkan dalam forum para pembesar, pimpinan Muhammadiyah generasi pertama, berkumpul. Berarti orang itu memang telah akrab dengan para tokoh Muhammadiyah. Orang itu adalah Haji Agus Salim.
Haji Agus Salim punya gagasan sebaiknya Muhammadiyah menjadi partai politik. Kita tahu, saat itu sedang semangat dan bangkitnya SI. SI sudah tahu kalau Muhammadiyah memiliki ummat. Rupanya Haji Agus Salim mencoba mendekati Muhammadiyah karena punya ummat. Kita tahu kira-kira bagaimana beliau yang diplomat dan politikus ulung itu menjelaskan tentang partai politik. Semua yang hadir dalam sidang itu terpukau dan setuju untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik.
Kyai Dahlan yang tadinya memimpin sidang dengan duduk, lalu berdiri sambil memukul meja. (Saya tidak sempat bertanya kepada guru saya, Kiyai Hadjid, pelaku sejarahnya: memukul mejanya keras, apa tidak). Kyai Ahmad Dahlan mengajukan dua pertanyaan. Kalau hadirin bisa menjawab silahkan Muhammadiyah menjadi partai politik. Pertanyaannya sangat sederhana. Pertama, apa saudara-saudara tahu, faham betul apa Islam itu? Kedua, apa saudara berani beragama Islam? Yang hadir bungkam semua. Termasuk Haji Agus Salim sendiri tidak sanggup menjawab.
Pak Hadjid ketika bercerita kepada saya mengomentari peristiwa itu: “Bukan main tulusnya pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu. Bukannya kami tidak tahu pertanyaan itu, tetapi kami tidak sanggup menjawab pertanyaan itu. Kami mengerti betul yang dimaksud pertanyaan itu. Apa Islam itu kami mengerti”.
Saya kemudian juga menjadi tahu apa bentuk pertanyaan itu dalam salah satu pelajaran beliau, ketika beliau mengungkap ayat dalam surat al-An-am ayat 162-163. “Qul inna shalati wa-nusuqi wa mahyaaya, wa mamaati lillaahi rabbil alamin”. (Katakanlah hai Muhammad, sesungguhnya shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku hanya untuk Allah). Lillah di sini sebagai adamul khasr, menegaskan ‘hanya untuk Allah’, Rabbil ‘alamin, pengatur alam semesta. Laa syariikalah, tidak ada sekutu bagi-Nya; tidak untuk selain Allah. Tidak untuk anak-anakku, tidak untuk isteri, keluargaku, tidak untuk bangsaku, tidak untuk tanah airku. Wa bidzaalika umirtu, dan dengan itu, hidup yang model seperti itu, aku ini diperintah, tidak untuk yang lain-lain.
Melihat maknanya yang demikian, beliau-beliau ini tidak sanggup menjawab dua perta-nyaan Kyai Dahlan tersebut. Apalagi dengan pertanyaan: “Beranikah kamu beragama Islam”. Tidak ada yang berani menjawab!
Dua pertanyaan Kiyai Haji Ahmad Dahlan itu, 57 tahun kemudian terjawab satu. Yaitu pada Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya tahun 1978. Di sana ada Komisi Ideo-logi yang membahas tentang Prinsip-prinsip Dasar Islam yang dikonsep oleh Pak Djindar Tamimy. Baru di sana itu kita mendapatkan rumusan tentang Islam. Itupun ternyata tidak gampang diterjemahkan. Sebab, kalau bukan Pak Djindar dan orang-orang yang dekat, tidak sanggup mengungkap hasil Muktamar ke-40 tersebut. Namun, sudah menjadi kesepakatan bahwa itu adalah gagasan tentang Islam. Pertanyaan yang kedua, sampai sekarang ini belum ada yang berani menjawab.

Kyai R.H. Hadjid dan Tujuh Serangkai
Terkait dengan ungkapan berani beragama Islam, saya akan menceritakan tentang tokoh yang lain, yaitu murid beliau yang bernama Kiyai R.H. Hadjid. Beliau adalah satu-satunya murid yang mencatat pelajaran KHA Dahlan, dan mantan Direktur Mu’allimin yang kedua. Di Muhammadiyah ini beliau mendapat julukan Asyaddul Muhammadiyah (Singanya Muham-madiyah). Di masa-masa tuanya, beliau biasa disebut dengan sebutan Jago Tuanya Muham-madiyah. Sebab kalau beliau ini berpidato di hadapan massa sangat bersemangat. Kalau mendidik kader-kadernya anak-anak Mu’alli-min, kalau mau dibenum (istilahnya demikian), ditugaskan ke luar daerah, murid-murid tersebut diajak ke Pantai Parangtritis, pada jam 2-3 dini hari untuk menantang Nyi Roro Kidul. Itu merupakan latihan mental yang cukup berat. Padahal Nyi Roro Kidul itu dapat dikatakan tuhannya orang Jawa.
Saya mengambil banyak pelajaran dari beliau, dari sisi keberanian. Kalau tadi saya mengungkap kalimat: “Beranikah beragama Islam” memang yang menonjol dari Pak Hadjid adalah dalam hal ini.
Tahun 1926, ada pegawai Pamongpraja, pegawai pemerintah, termasuk juga sebagai murid KHA Dahlan, karena pernah mengikuti pengajiannya Kyai Haji Ahmad Dahlan, seorang lulusan sekolah pemerintah. Satu saat dia melaporkan kepada Muhammadiyah kalau ada rencana Pemerintah Hindia Belanda mau membubarkan Muhammadiyah.
Mendengar kabar itu, Tujuh Serangkai: Ki Bagus Hadikusumo, Kyai Sujak, Kyai Ibrahim, Kyai Hisyam, Kyai Fachruddin (bukan bapak-nya Pak AR Fachruddin), Kyai Muchtar, dan yang paling muda Kyai Raden Haji Hadjid, pergi ke pantai Parangtritis. Mereka duduk melingkar berbaiat untuk mempertahankan Muhammadiyah sampai titik darah yang penghabisan.
Cerita ini juga tidak terungkap dalam sejarah. Tapi, ada lagu yang bisa menggam-barkan bagaimana semangat mereka, yang sayangnya saat ini sudah tidak dikenal lagi di kalangan anak muda. Lagu ini memakai bahasa Jawa. Syairnya dari Abdurrahman Al-Kawakibi, tangan kanannya Al-Ikhwan. Lagunya diambil dari lagu Revolusi Perancis, berikut ini.

WIS SIAP MATI
(Mars Revolusi Perancis)

Pra prajurit kang wus padha nampa
Baiate kang Maha Mulya
Dhatan mundhi mring sopo-sopo
Mung Allah ingkang kuwasa
Sanajan tumeking palastra
Ngibarke gendera agama
Islam…..agama sak donya
Amrih rukune pra jalma
Nyernaken sedaya sangsara
Gempur…..panguwasa angkara
Nyegah…. laku murka
Ben Santosa ing sedyanira
Wus mesthi tumeka

(Di-bahasa Indonesiakan oleh H. Budi Setiawan dan M. Bazzar Marzuqi sebagai berikut.)

SUDAH SIAP MATI

Hai prajurit yang t’lah trima
Baiatnya yang Maha Mulia
Tidak menyembah k’pada siapa
Hanya Allah yang Maha Kuasa
Meski sampai mati pun
Kibarkan bendera agama
Islam …agama se dunia
Agar damainya manusia
Hilangkan semua sengsara
Gempur…. Penguasa angkara
Cegah…. langkah aniaya
Agar sentosa kalian semua
Yang pasti ‘kan datang

Kalau Bapak-Bapak punya buku tentang Kyai haji Ahmad Dahlan karangan Solichin Salam, di situ ada foto atau gambarnya pasukan Nabi Muhammad. Jadi, semangat para pimpinan Muhammadiyah pada waktu itu seperti itu dalam menghadapi penguasa Belanda.
Saya tambah satu lagi. Di atas telah saya sebut nama Kyai Fachruddin. Ada catatan kecil tentang beliau. Sayang, beliau terlalu muda ketika meninggal dunia. Tapi beliau sempat menjadi Pahlawan Nasional. Haji Fachruddin adalah tokoh yang sangat mukhlis, ikhlas. Biasa datang di kantor PP Muhammadiyah, melayani orang-orang Ranting yang datang ke sana. Kalau mendidik kader-kader Mubaligh selalu beliau tanyai: mau tabligh di mana. Kemudian ditanya lagi (misalnya mau tabligh di Magelang): kalau tabligh di Magelang, sekiranya yang mende-ngarkan kamu cuma tiga orang: protokol, panitia dan yang punya rumah, apa kamu kecewa?. Sebelum muridnya menjawab, dijawab sendiri oleh Kyai Fachruddin: kalau kamu kecewa, jangan berangkat. Atau kamu nanti datang ke Magelang, kamu disambut meriah dengan pawai dan pasukan drumb band, kemudian kamu dikalungi tikus, apa kamu bangga? Kalau bangga, jangan berangkat. Inilah semangat keikhlasan beliau di dalam berjuang, berdakwah, berjihad, jangan sampai dipengaruhi oleh hawa nafsu senang dan susah. Ini yang sering menjadi penyakit di Muhammadiyah dewasa ini.Tidak diberi bekal sesuai harapannya, kecewa. Kemudian ketika pulang dari tugas tidak diberi sesuatu juga kecewa. Inilah yang membuat kita seperti ini ya begini ini.





___________

• Transkrip Ceramah Ustadz Ibnu Juraimi dalam Baitul Arqam Ketua-Ketua PDM se-Indonesia Putaran IV, MPKSDI PP Muhammadiyah, Kaliurang 25-27 April 2003. Ditranskrip oleh Arief Budi

Tidak ada komentar: